Salah Siapa?Ketika Beras Mendepak Pangan Lokal di Papua Oleh Tekhom Eman Papua masa depan akan banyak yang berubah jika saja kita hanya terus mengalir. Salah satunya, dari segi Pangan. Orang Papua yang berlatar belakang Umbi-umbian, talas, dan sagu sudah bergeser ke nasi sebagai pasokan utama kebutuhan Karbohidratnya. Umbi-umbian, keladi, dan sagu (pangan lokal) hanya sebagai cemilan. Kami beberapa orang sejak lama meninggalkan kebiasaan makan nasi. Saya baru menjalan 7 tahun setelah mengganti kebutuhan karbohidrat dengan pangan lokal. Ada kawan-kawan yang lebih lama itu. Saya sendiri tidak mengetahui alasan apa yang mendasi keputusan kawan-kawan lain. Dari segi pangan, khususnya kebutuhan akan Karbohidrat di Papua kini beras mendepak pangan lokal. Secara umum terdapat 3 kata kunci yang memungkinkan adanya stabilitas ketahanan pangan. Ketersedian, Akses ke Pangan, dan pemanfaatan Pangan. Ketersedian pangan berkaitan dengan kuantitas pangan yang tersedia baik yang datang dari luar maupun dalam, Stok. Akses kepangan kemampuan rumah tangga untuk mendapat pangan, baik membeli, hadia, pinajam ataupun barter. Pemanfaatan adalah kemampuan rumah tangga untuk mengola, menyimpan, efisiensi teknologi pengolahan, konsumsi pangan sesuai nilai gizi yang dibutuhkan tubuh. Kita di Papua ketersediaan pangan dari luar dikuasai pedagang luar Papua. Coba saja hari lebaran tiba. Orang Papua jalan cari kios kayak cari jarum dalam tumpukan pasir. Beda lagi kalau bulan desember memasuki natal. Semua stok tersedia karena Orang di Papua khususnya wilayah-wilayah mayoritas Nasrani sudah pasti arus pengeluarannya besar. Kasarnya, bulan Januari gulung tikar. Maka, stabilitas pangan berlangsung karena pendatang menyediakan stok yang datang dari luar dan bahkan mulai menguasai pangan lokal. Seperti pengolahan umbi-umbian, talas, sagu (papeda), dan bahkan pinang mulai dari buah hingga pinang kering. Proses penguasaan pangan ini didukung lagi dengan dibukanya akses trasportasi. Orang Papua dipermudah dalam akses ke pangan luar tetapi sebagai pembeli, konsumen. Akhirnya, dipemanfaatan juga kita kalah. Kita distimulus untuk konsumsi makanan maupun minuman tanpa mempertimbangkan kebutuhan tubuh akan gizi. Kita terbiasa dengan konsumsi minuman saset berlebihan dan bahkan nasi. Stimulasi ketergantungan terhadap pangan luar meciptakan budaya baru, konsumerisme. Lalu dari proses saya tidak mengkonsumisi nasi ini muncul beberpa pertanyaan. Apa yang salah dengan Nasi? Apa yang menyebabkan beras mondominasi pangan lokal? Mengapa kita harus prioritaskan (Pangan Lokal) umbi-umbian, talas dan Sagu? Naa untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas ini. Saya menggunakan dua teori, behaviorisme Pavlov dan hegemoni Gramci. Memangsih, teori tidak dapat mengubah fakta. Bisa saja teori dan fakta bertentangan, tetapi harus kita pahami bahwa teori itu lahir dari pengamatam fakta secara ilmiah sebagai upaya mencari jalan yang lebih ideal untuk memperbaiki kehidupan manusia dan alam. Penulisan ini bukan bermaksud mengajak atau menyalahkan teman-teman yang mengkonsumsi nasi. Anda berhak memutuskan pilihan anda. Lalu apasih behaviorisme? Perna mendengar istilah "Tabularasa" alias Manusia lahir sebagai kertas kosong yang akan di isi oleh pengalaman? Naa teori ini percaya bahwa perilaku sebagian besar manusia adalah hasil dari pengalaman mereka yg terakumulasi dari stimulus-stimulus lingkungan. Pace Pavlov yang juga merupakan salah satu imuwan berkebangsaan Rusia inilah pertama kali kembangkan teori ini melalui eksperimen yang terkenal yang dilakukan terhadap seekor anjing. Contoh: Kalau ko pelihara Ayam dan berimakan makan maka ayam-ayam tersebut akan berkumpul/respon (Makanan: ini stimulus Alami). Lalu ko tambah stimulus terkondisi. Selanjutnya, biasakan beberapa menit sebelum berimakan panggil ko pu ayam-ayam dengan Kruk..Kruk..Kruk...kruk (stimulus terkondisi). Lakukan hal tersebut berulang selama sebulan atau lebih. Selanjutnya, coba ko panggil ayam-ayam tersebut dengan Kruk..Kruk..Kruk...kruk atau apapun yang sudah ko stimulus tanpa sediakan makan. Ayam-ayam teresebut akan merespon suara tersebut dengan berlarian menuju sumber suara. Artinya, ayam-Ayam tersebut sudah terkondis dengan stimus yang ko ciptakan sehingga meskpun tidak ada makan mereka akan merespon seperti saat ko mau berimakan Teori ini sering diterapkan dalam dunia pendidikan khususnya dalam proses belajar mengajar. Kata kuncinya adalah Stimulus -penguatan Respon. Stimulus ini ada dua, alami dan Terkondisi. Lalu, apa kaitan teori ini dengan Pangan Lokal di Papua? Kita tahu bahwa orang Indonesia Barat kalau mengkonsumsi karbohidrat selain dari nasi atau produk jadi mungkin akan terasa hambar. Artinya, nasi sudah menjadi makanan pokok. Kecuali jika Umbi-umbian ,talas, dan sagu yang sudah diproduksi dalam bentuk barang jadi seperti Roti, Bronis dan lain-lain. Teori ini jika kita kontekskan di Papua dari segi pangan khususnya dalam hal beras yang mulai menggati pangan lokal maka sebagai berikut. Sejak dahulu manusia Papua umumnya secara alami kebutuhan karbohidratnya adalah umbi-umbian, sagu dan talas (stimulus alami). Stimulus terkondisi adalah beras raskin/murah yang terus diberikan ke masyarakat Papua. Stimulus terkondisi ini berlangsung terus dalam jangka yang lama melalui penguatan dan pembiasaan.Setelah masyarakat dalam suatu wilayah terkondisi dalam stimulus ini dan responnya sudah bersifat permanen (ketergantungan terhadap beras) pidahlah ke daerah yang dianggap baru. Misalnya, program raskin yang awalnya difokuskan di kabupaten-kabupaten yang berada di pesisir, setelah dianggap terkondisi sekarang berpindah ke kabupaten-kabupaten di daerah pedalaman. Tanpa kita sadari kita yang terkondisi dengan stimulus yang dirancang ini akan makmaksa kita untuk membeli beras dan mengkonsumsi nasi. Perlahan posisi pangan lokal tergeser. Lalua apa salahnya? Penguasaan ekonomi khususnya di sektor pangan terutama beras adalah pendatang. Mulai dari menanam padi, hingga produk jadi berupa beras yang diperdagangkan adalah pendatang dan bahkan produk olahan beras dari warung makan sampai dengan kue. Masyarakat yang terkondisi dengan stimulus buatan ini sudah pasti lupa berkebun dan tokok sagu. Lahan-lahan sagu dan untuk berkebun dijual habis. Lalu di ubah menjadi lahan-lahan untuk menanam padi (Merauke Misalnya). Mereka yang masih menokok sagu atau berkebun sekalipun akan benjual hasil panennya untuk membeli beras. Masyarakat bekerja berjam-jam di kebun atau menonokok sagu di hutan, atau pelihara ternak berbulan-bulan setelah itu menjual berjam-jam di pasar dengan tujuan untuk membeli beras 1 Kg di pasar. Sementara pangan lokal hanya menjadi pelengkap. Bukan hanya itu, orang Papua yang terkondis akan berdampak pada daya beli terhadap pangan lokal. Padahal mama Papua menjual hasil panen mereka di pasar selain membeli beras, dilain sisi untuk membiayai pendidikan anak-anak tetapi karena daya beli ini telah beralih ke beras maka mereka ini tersingkir dengan sendirinya. Kita akan bangga jika makan di warung atau makanan cepat saji dari pada sekadar Ubi bakar, keladi Bakar atau Papeda yang dijual mama-Mama Papua. Sementara itu, pemerintah Daerah yang terseret kepusaran ini tidak akan berpikir untuk mengembangkan pangan lokal dari bahan baku ke produk-produk jadi berupa, roti, bronis, tepung, kerupuk dan sejenisnya guna meningkatkan daya beli terhadap pangan lokal. Jadinya, masyarakat maupun pemerintah beramai-ramai membunuh pangan lokal. Yups....secara ekonomis beras lebih praktis dan awet dibanding pangan lokal. Mereka yang menguasai pasar khusus beras ini santai menunggu di rumah meskipun satu tahun waktunya. Masyarakat berkebun, tokoh sagu, jual pinang, menjual kopi, hanya untuk membeli beras 1 Kg. Lalu uniknya lagi, diluar sana beras raskin seperti Bulog itu beras yang tidak layak konsumsi. Artinya, beras pilihan terakhir. Jadi, Raskin menjadi stimulus untuk meningkatkan daya beli beras yang secara kualitas lebih baik dan juga lebih mahal. Sederhananya, Raskin (Bulog) itu menjadi umpan agar beras yang lebih baik dan mahal pun bisa laku. Kita tidak menyadari bahwa kita dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang diciptakan. Sementara kita sebagai individu tidak menyadari bahwa kita dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar diri kita. Lalu, kita pun meneruskan proses ini ke anak cucu kita. Singkatnya: Kerja, saya yang kerja. Kebun punya saya. Ternak juga punya saya. Apa lagi saya yang menjual di pasar maka benar bahwa hasil keringat saya. Hasil stimulusnya, hak saya hendak membeli beras atau makan di warung dll. Lalu bagaimana Hegemoni bekerja dalam konteks beras mendepak pangan lokal di Papua? Pemikir Itali gramci mengembangkan sebuah teori yang kita kenal Hegemoni. Teori ini awalnya dari Karl Max. Secara sederhana menurut Gramci bahwa persetujuan terhadap aturan kelompok dominan dicapai dengan penyebaran ideologi keyakinan, asumsi, dan nilai melalui institusi sosial seperti sekolah, gereja, pengadilan, dan media, ekonomi, lain-lain. Kata kunci landasan terori ini adalah perekonomian, negara, dan masyarakat. Pengaruh hegemoni ini mencakupannya luas, maka berlaku universal dan berkaitan dengan semua bidang tatanan kehidupan manusia. Dalam penerapannya semua aturan kelompok dominan tadi di jalankan bukan lagi melalui kekerasan dan pemaksaan tetapi secara persuasif sehingga yang bersangkutan atau masyarakat yang terhegemoni tidak menyadari hal tersebut. Sederhananya, kesadaran tentang benar dan salah atau baik dan buruk bukan lagi terjadi atas kesadaran diri tetapi dibentuk oleh kelompok dominan. Dalam konteks pangan seakan ada image negatif yang dibangun bahwa nasi lebih baik dari pada pangan lokal. Artinya, kedudukan beras atas pangan lokal ini juga turut menujukkan status sosial. Orang mengkonsumsi pangan lokal diasosiasikan dengan masyarakat nomor dua dibanding yang mengkonsumsi nasi. Apa lagi media seperti TV dan iklan turut berperan menghegemoni masyarakat Papua bahwa makan yang sehat bersih itu harus seperti ini atau itu. Sedangkan diluar dari itu dianggap tidak bersih dan kotor. Seakan semua yang datang itu semuanya baik, bersih dan modern. Padahal jangankan soal makan, air mineral yang dalam kemasan saja, banyak penelitian yang membuktikan bahwa mengandung micro plastik dan bahkan dibeberapa titik di luar sana micro plastik sudah terdapat langsung dari sumber airnya. Hegemoni membuat kita lupa, jika makanan yang kita anggap kotor dan kelas dua inilah yang membuat kita ada hari ini. Nenek moyang kita mampu menaklukan medan-medan terjal menundukkan gelombang yang ganas berkat pangan yang kita miliki. Nenek moyang orang Papua gunung tidak mungkin berjalan ribuan kilo meter sampai ke wilayah Papua barat untuk mencari kerang sebagai alat tukar. Wilayah Pantai tidak mungking nenek moyang kita mendayung perahu dan menduduki pulau-pulau baru dan bahkan mendayung hingga ke laut Jawa. Kasus lain Hegemoni adalah kita menonton TV atau Youtube. Tanpa sadar kita menonton ikan. Sebagai orang awam, kita tidak mengetahui bahwa pemilik produk mengeluarkan biaya dari puluhan hingga ratusan dan bahkan miliyaran rupiah untuk mengiklankan produknya via TV atau ke google (berasan biayanya tergantung jangkauan iklan, Jam tayang dll). Lalu pertanyaanya mengapa mereka berani bayar mahal? Hal tersebut kembali ke pembahasan di atas, stimulus, penguatan,respon juga hegemoni. Produk sabun misalnya, kita yang sudah sejak lama menonton ikan berbagai merek sabun atau deadoran. Kita diproyeksi bahwa yang benar adalah sabunlah yang membersihkan kotoran maka persepsi yang tertanam di benak kita adalah sabunlah yang membersikan kotoran. Padahal yang membersikan kotoran adalah air. Sabun hanya sebagai pendukung dalam proses membersikan. Jakarta melalui media masa selalu menghegemoni orang Papua bahwa dengan dibukanya akses pembangunan melalui otonomi khusus maka Papua akan maju. Padahal yang menguasai pangan bukalah orang asli Papua. Otonomi pun bukanlah pemberian apa lagi perhatian Jakarta terhadap orang Papua tetapi hanya sebagai win-win solution atas tuntutan Papua merdeka. Kekhususan pada saat penerimaan CPNS, Beasiswa, Bintara Noken atau apapun bentuknya tidak akan ada tanpa orang Papua yang terbunuh, di penjara dan dihutan. Kita yang terhegemoni akan menganggap, ngapain minta merdeka sedangkan orang Papua sudah mulai di perhatikan Jakarta. Lalu lupa bahwa perhatian yang kita nikmati sekarang adalah hasil perjuangan panjang yang telah banyak meminta korban. Bergitulah kelompok dominan menghegemoni masyarakat.Simpulan Proses stimulus terkondisi mengalami pembiasaan dan kita mengalami ketergantungan akan pangan dan kalah saing dalam berbagai bidang. Lalu, mereka dengan santainya mengatakan kepada kita bahwa orang Papua itu malas dan konsumtif. Kita pun turut mendukung argumen tersebut, karena kita memang sudah di buat ketergantungan. Kita salahkan diri kita atas semua ketergantungan ini. Kita lupa mental pekerja nenek moyang kita. Semua runtuh dihadapan cara hidup praktis dan konsumtif yang sejak lama dibentuk. Kita dibentuk menjadi aktor-aktor berpikir instan tanpa produktivitas. Melalui stimulus penguatan dan hegemoni kita terkapar dalam genggaman kontrol yang datang dari luar diri kita. Kita tidak mampu menentukan baik dan buruk, benar dan salah atas pertimbangan diri kita sendiri. Padahal nenek moyang kita adalah pekerja keras dan bahkan penakluk medan-medan terjal dan mematikan. Aditjondro, dalam buku "Cahaya Bintang Kejora" banyak berciara soal keberadaan umbi-umbian dan tas di di Papua. Sistem pertanian di Pulau ini diperkiarakan sudah berlasung sejak 8000-10.000 SM. Artinya, nenek moyang kita mengenal sistem ini jauh sebelum Kristus lahir. Jauh sebelum orang Indonesia barat mengenal sistem pertanian modern. Belanda pun tercengan melihat sistem pertanian modern di Papua yang sudah berlangsung lama tanpa bantuan sepotong logam pun. Sampai-sampai ahli botani Belanda, Chris Versteegh mengatakan bahwa sistem pertanian di wilayah lembah Baliem jauh lebih maju dari pada pusat pertanian pemerintah Belanda di Manakwari waktu itu. Pangan lokal yang kita miliki mampu mengantar manusia Papua hingga ke generasi kita. Lalu kita lupa untuk mengembangkan pangan ini menjadi produk-produk jadi yang siap bersaing karena kita hidup dalam penguatan stimulus buatan yang didukung dengan hegemoni.
Tags
FAKTA