Buchtar: Jakarta Jangan Batasi dan Buat Laporan Sepihak! JAYAPURA — Rencana Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Republik Indonesia mengadakan pertemuan dengan Komisioner Tinggi HAM PBB sekaligus memberikan laporan soal berbagai bentuk pelanggaran HAM versi sendiri, mendapat kecaman dari Buchtar Tabuni, Ketua West Papua Council. Pria yang juga menjadi pendiri Komite Nasional Papua Barat (KNPB) ini menyatakan bahwa pemerintah pusat jangan membatasi kunjungan Komisioner Tinggi HAM PBB untuk mendapatkan data dan informasi yang langsung dari akar rumput. Apalagi membuat laporan sepihak tanpa memberi kesempatan kepada para korban untuk berbicara. “Itu aneh sekali dan terlalu bodoh. Sebab Jakarta atau pemerintah pusat ini mereka pelaku kemudian mereka mau buat laporannya sendiri. Ini lucu,” sindir Buchtar saat ditemui di Waena, Sabtu (13/2). Ia meminta Jakarta harus berjiwa besar menyelesaikan persoalan status politik dan pelanggaran HAM di West Papua (Papua) menurut mekanisme Hukum dan HAM Internasional di forum PBB. Sebab, korban pelanggaran HAM bukan hanya orang asli Papua tetapi juga orang non-Papua. Pelanggaran HAM di West Papua terjadi sebagai akibat dari tuntutan rakyat bangsa Papua yang meminta menentukan nasib sendiri, berpisah dari negara kesatuan Republik Indonesia. “Indonesia terus membungkam dan menyembunyikan fakta sejarah tentang status politik Papua yang belum terselesaikan dengan adil dan bermartabat. Tuntutan hak penentuan nasib sendiri bangsa Papua terus saja menggema. Dan satu-satunya upaya Indonesia untuk membungkamnya adalah dengan cara kekerasan. Cara-cara kekerasan mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia,” tudingnya.Ia membeberkan bahwa pelanggaran HAM di West Papua sebagai akibat dari akumulasi kekerasan NKRI terhadap rakyat bangsa Papua yang menuntut hak politik kemerdekaan bangsa Papua pada 1 Desember 1961 hingga 1 Desember 2021. Terbukti selama 61 tahun, NKRI tidak mempunyai itikad baik menyelesaian status politik bangsa Papua dan penyelesaian pelanggaran HAM. Malahan memaksakan paket politik Otsus dan pemekaran sebagai “win-win solution”. Ia mewanti bahwa pelanggaran HAM NKRI di West Papua telah menjadi sorotan MSG, PIF, ACP dan dunia internasional mendesak Dewan HAM PBB berkunjung ke West Papua. “Saat ini sudah mencapai 84 negara anggota PBB mendesak PBB untuk berkunjung ke West Papua. Indonesia sudah tidak dapat membendung desakan ini. Mau tidak mau, suka tidak suka, Indonesia harus mempertanggungjawabkannya,” beber Buchtar. Pria yang beberapa kali keluar masuk tahanan dan pernah berstatus DPO ini menyampaikan bahwa saat ini Indonesia tengah mengupayakan beberapa hal untuk menunjukkan sikap peduli dengan HAM. Pertama dengan mendorong terbentuknya KKR dan Pengadilan HAM untuk penyelesaian status politik dan pelanggaran HAM di West Papua menurut mekanisme hukum NKRI. Ini sebagai strategi pertanggungjawaban NKRI di mata dunia, terutama bila kunjungan Komisioner Tinggi HAM PBB ke West benar-benar terjadi. Lalu kedua, sebagai upaya membolak-balikan fakta pelanggaran HAM di West Papua. Dimana Indonesia melalui Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Republik Indonesia akan mengadakan pertemuan pada tanggal, 14 Februari 2022 dengan agenda penyusunan tanggapan pemerintah Republik Indonesia atas komunikasi SPMH (Special Procedures Mandate Holder) Dewan HAM PBB terkait berbagai isu di Papua dan Papua Barat. Ini dilakukan di ruang rapat Nakula, Gd A Lt 6. Kemenko Polhukam, Jl. Medan Merdeka Barat No. 15, Jakarta Pusat. Nah terkait poin 1 dan 2 di atas, Buchtar mengaku menyangsikan apa yang akan disampaikan. “Masa pelaku pelanggar HAM menyusun laporan pelanggaran HAM yang dilakukannya sendiri. Masa, pelaku pelanggaran HAM membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi serta Pengadilan HAM untuk mengadili dirinya sendiri. Ini tidak masuk akal dan tidak dapat diterima. Rakyat Papua sampai saat ini tetap menolak proses penyelesaian status politik West Papua dan pelanggaran HAM di West Papua menurut mekanisme Hukum dan HAM Republik Indonesia,” sindir Buchtar. Ketua PNWP [Parlemen Nasional West Papua] dan Deklarator ULMWP ini menyampaikan bahwa Indonesia seharusnya berjiwa besar untuk menyelesaikan persoalan status politik dan pelanggaran HAM di West Papua menurut mekanisme hukum dan HAM Internasional di forum PBB. Sebab, korban pelanggaran HAM terjadi kepada orang Papua dan orang non-Papua. “Ada aktivis, ada warga sipil, ada TNI-Polri, ada juga mahasiswa dan banyak kalangan yang jadi korban,” cecarnya. Beberapa poin yang diminta kepada pemerintah adalah pertama, segera membuka akses bagi kunjungan komisioner tinggi HAM PBB ke West Papua untuk bertemu langsung dengan para korban. Kedua rakyat Papua sudah dan sedang mempersiapkan penyambutan kedatangan Komisioner Tinggi HAM PBB ke West Papua, ketiga segera menghentikan upaya domestifikasi persoalan status politik West Papua dan pelanggaran HAM di West Papua. “Untuk penyambutan saat kedatangan nanti kami pastikan semua aman. Tidak ada gerakan tambahan karena kami juga masih berkomunikasi dan menghormati sebagai tuan rumah,” tutupnya. #FreeWestPapua
Tags
opini